So’a dalam Frame Budaya Universal

 

So’a dalam Frame Budaya Universal

IDENTITAS DAN  PERAN KEARIFAN LOKAL

 

A.     Pendahuluan 

Dewasa ini, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi terutama sains sangat mempengaruhi dunia dengan pesatnya, terutama perkembangan ilmu dasar secara tak terbendung dari sains yang tidak dapat dihindari. Secara bersamaan, perkembangan pesat sains juga diikuti perkembangan aplikasi sains itu sendiri yang berwujud teknologi. Keduanya (sains dan teknologi) bergerak secara linier mengikuti perkembangan dinamika dan kompleksitas kebutuhan masyarakat global serta nilai-nilai yang dianut secara bersamaan. Dengan demikian, sikap masyarakat global yang terbuka, toleran, dan beretika sangat diperlukan sebagai respon perkembangan sains dan teknologi yang masuk dalam hampir setiap aspek kehidupan. Seperti, kesehatan, budaya, pertanian, perkebunan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, dan lainnya. Lebih lanjut, sikap tersebut bertujuan agar masyarakat dapat menyerap kemajuan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan harapan, tetap dapat memenuhi kebutuhan dan penyelesaian dinamika masyarakat itu sendiri sehingga selalu berada dalam koridor (On the Track).

Globalisasi merupakan suatu proses pengintegrasian sistem atau bidang kehidupan bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem global (Fakih, 2008). Adapun tuntutan masyarakat global adalah standar kecepatan layanan (konsumen) menjadi salah satu tolak ukurnya. Pengunaan dan pemanfaatan secara praktis dan tidak bertele-tele dalam segala sesuatu adalah merupakan bagian yang sangat penting dari aspek kemajuan ini.  Dengan demikian, pada suatu waktu akan tidak tampak lagi batas-batas yang mengikat secara nyata, sehingga sulit untuk disaring atau dikontrol perkembangannya (Jamli, 2005). Salah satu bidang sains dan teknologi yang mengalami perkembangan pesat dalam era globalisasi adalah informasi dan komunikasi.

Beberapa hal yang menguntungkan dari perkembangan dan kemajuan dalam bidang komunikasi dan telekomunikasi serta lalu lintas yang melingkupinya adalah adanya peningkatan efetivitas dan efisiensi kerja. Di mana hal tersebut menjadi salah satu indikator dan tuntutan globalisasi. Namun, selain memiliki dampak positif bagi kemajuan, peningkatan efektifitas dan efesiensi kerja, kemajuan tersebut juga memiliki dampak yang kurang menguntungkan bagi kehidupan bermasyarakat. Interaksi antar anggota masyarakat juga lebih terbuka, cepat, dan tidak mengenal batas geografi serta kelompok. Ironinya kemajuan tersebut justru membuat orang menjadi apatis, bahkan studi menunjukan data bahwa peran orang tua menjadi terdegradasi dan kerdil. Kemajuan telah merasuki berbagai segi termasuk di dalamnya adalah arus budaya asing yang masuk di suatu masyarakat. Dinamika interaksi demikian sangat berpotensi untuk meningkatkan ketidakharmonisan, kesenjangan antar anggota masyarakat atau kecemburuan sosial yang berlebih. Tanpa kemampuan internal yang baik, globalisasi berpotensi menurunkan nilai luhur bangsa, melemahkan sendi kepribadian, khususnya generasi bangsa. Orang sudah cendrung meningkatkan kedekatan dengan dunia maya dan orang yang jauh ketimbang memperhatikan dan bersimpati terhadap orang-orang di dekatnya. Jika menginginkan kemajuan dan peningkatan mutu bidang kehidupan bangsa, sikap anti atau over protected globalisasi juga kurang tepat.  Jika pernyataan di atas dihubungkan dengan masalah pembangunan maka dapat dikatakan bahwa  pembangunan yang berkelanjutan tentu tidak melupakan kebudayaan sebagai barometer masyarakat Indonesia. Kebudayaan merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi pengalaman yang dialihkan secara sosial, dan merupakan pandangan hidup (way of life) dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai dan simbol yang terima anggota masyarakat melalui proses komunikasi peniruan dari generasi ke generasi selanjutnya (Liliweri, 2003:8).

Setiap masyarakat di suatu bangsa tentunya memiliki keunggulan lokal di daerahnya masing-masing. Adapun keunggulan lokal setiap daerah satu berbeda dengan daerah lainnya. Keunggulan lokal dapat lahir sesuai kondisi geografis, natural resources, human resource, sejarah, dan budaya. Pada dasarnya, keragaman tersebut diharapkan dapat terkonservasi dari generasi ke generasi, yang pada akhirnya dapat berperan memperkuat identitas nasional. Keunggulan lokal melahirkan kerafian lokal yang nantinya juga berperan aktif membangun bangsa. Dalam pembahasan tentang keunggulan lokal berbasis budaya dan lahir secara tradisional mendapat respect aktif karena budaya adalah salah satu hasil karya  manusia yang tiada akhir dan prestasi unik yang hanya dimiliki manusia.

Salah satu strategi adalah menguatkan konsep kearifan lokal agar tetap dijaga dan dilestarikan adalah dengan interlocal wearness. Terutama konsep diri yang berdasarkan prinsip keunggulan lokal yang nilainya diakui global seperti religius, tangggung jawab (responbility), kemanusiaan, disiplin, kompetitif, bersih, dan sehat. Pada konteks ini, sinergi pengangkatan keunggulan fisik dan non fisik (nilai) keunggulan lokal sangat diperlukan dalam masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut telaah kearifan lokal dalam berbudaya bangsa dengan basis mengangkat keunggulan lokal sangat menarik dikaji lebih lanjut secara komprehensif. Dengan demikian, diharapkan konsep transfer gagasan keunggulan lokal dan transmisi pengetahuan yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu jenis model pendidikan berbasis budaya lokal yang sedang diprogramkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui penguatan otonomi daerah. Telaah tentang eksistensi budaya lokal Soa ini penulis kerucutkan dalam point-point pembahasan tentang Mencari Indentitas, Menguak kesejarahan, dan peran kearifan lokal

 

B.      Identitas Kedaerahan (Local Identify)

 Identitas adalah hal yang menyangkut tentang data diri seseorang ataupun benda. Masyarakat Soa umumnya adalah masyarakat yang sejak dahulu merupakan masyarakat yang sudah mengenal migrasi, pemukiman berpindah, dan sistem perladangan berpindah. Kebiasaan ini akhirnya juga akhirnya berpengaruh pada sistem kekerabatan, sistem orgaisasi sosial, kepercayaan dan sistem perkawinan. Migrasi dalam masyarakat Soa juga dikenal dari China (dataran tinggi Yunan dan Dongson (Vietnam Utara). Kedatangannya lewat laut memungkinkan penduduk berpindah dan bermukim dari satu tempat ke tempat lainnya. Mulai dari sina one (China/Tiongkok) sampai zawa one (P. Jawa), melewati Sumbawa dan akhirnya sampai di Flores. Perjalanan yang jauh juga menyebabkan perpindahan pengalaman baru di daerah yang ditempati dan akhirnya membawa kebudayaan yang baru ke tempat barunya.  Eksistensi perjalanan penuh pengalaman dan tantangan juga akhirnya membuat beberapa kebudayaan terbawa, sebaian ditinggalkan dan sebagian lainnya menjadi pedoman bagi nilai-nilai hidup. Banyak peninggalan dan tradisi yang merupakan warisan nenek moyang terpelihara hingga kini dari kebiasaan berburu misalnya. Akibat migrasi suku-suku pada akhirnya manusia masa lalu harus mencari daerah baru dan akhirnya perebutan lahan perburuan dan makanan terutama-umbi-umbian hutanpun terjadi. Persaingan antar suku dan perindahan secara terpaksa dari wilayah satu ke wilayah lainnya juga merupakan dinamika kehidupan masyarakat purba yang tidak dapat di hindari.

1.     Pemanfaatan Lahan untuk perladangan dan pemeliharaan hewan

Setelah perladangan berpindah dan melewati berbagai wilayah, masyarakat Soa akhirnya menempati suatu wilayah yang sekarang yang di sebut Soa. Soa secara etimologis belum bisa ditemukan kata yang pasti. Beberapa penutur lisan juga belum bisa menjelaskan secara pasti dari manakah asal kata ini. Namun yang past bahwa kebudayaan yang melekat secara permanen memberikan gambaran bahwa manusia yang hidup di Soa adalah masyarakat berbudaya dengan tingkat tradisi yang tinggi.

Teknik berladang yang digunakan masyarakat Soa pada jaman dahulu ialah berpindah-pindah. Suatu bidang tanah yang hendak dijadikan ladang pertama-tama dibersihkan dari semak-semak dan pohon-pohon kecil di dalamnya kemudian ditanami, biasanya dengan talas dan keladi dan jenis umbi-umbian. Dari berbagai tradisi lisan (Oral Histori) disebutkan bahwa sebelum orang Soa mendiami di daerah sekarang merekapun mengalami migrasi. Perpindahan penduduk untuk menetap disuatu daerahpun tidak berlangsung lama atau hanya sementara karena disebabkan keadaan baik yang datangnya dari dalam maupun masalah dari luar seperti bencana alam.

Teknik berladang masyarakat Soa tak berbeda dengan proses kegiatan perladangan masyarakat lainnya. Yaitu bahwa apabila kebun sudah siap ditanami, maka segera pohon-pohon besar itu ditebang. Setelah itu dahan-dahan dari pohon-pohon besar yang sudah rubuh itu dipotong-potong dan diratakan tersebar dalm kebun. Batang pohon, dahan dan daun dibiarkan membusuk menjadi kompos penyubur bagi tanaman yang sudah ditanami itu. Jenis-jenis tanaman lain berupa buah-buahan misalnya pepaya, pisang dan sayur-sayur ditanam kemudian, dicelah-celah tanaman pokok. Pekerjaan berikut  adalah membuat pagar keliling. Fungsinya utama dari pagar ialah untuk mencegah babi hutan yang merupakan hama utama bagi petani-petani di daerah ini dijaman dahulu.

Alam merupakan laboratorium kehidupan mereka di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dari pola ladang yang ditanduskan (long fallow cultivation), tampak bahwa mereka memiliki kearifan dalam mengelola sumber daya alam sebagai sumber makanan bagi kehidupan keluarga. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 1-12 11

Pola makan orang Soa menggambarkan bahwa mereka relatif tidak kekurangan bahan makanan maka orang Soa bukanlah orang miskin dalam kategori BPS. Itu berarti bahwa konsep kemiskinan masih belum terlambat untuk ditinjau kembali. Khususnya dikemukakan di sini bahwa kemiskinan penduduk di Pulau Flores seolah-olah merasa terisolir sendiri karena mekanisme, sistem, dan kebijakan pemerintah regional dan nasional yang pada gilirannya membuat mereka terbelenggu dalam keterisolasiannya. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 1-12 11

Hasil suatu kebun dipanen setelah kurang lebih 8 bulan sejak ditanami. Sesudah panen pertama kebun masih digunakan lagi sekali, sesudah itu ditinggalkan dan pindah untuk membuka kebun baru di lahan lain. Pembukaan kebun baru dengan melakukan pekerjaan yang sama menurut tahap-tahap tersebut di atas terjadi tidak lama sesudah hasil pada kebun pertama dipanen. Setelah kurang lebih 10 tahun, lahan yang telah digunakan pertama itu dibuka lagi. Karena telah ditinggalkan sekian lama, maka secara alamiah kesuburan tanah pulih kembali sehingga dapat memberikan hasil yang cukup baik seperti halnya pada penggunaan pertama.

Pada umumnya penduduk yang melakukan pekerjaan berladang sebagai pekerjaan pokok, juga melakukan penangkapan ikan disungai pada saat kegiatan berburu sebagai mata kegiatan rutin setiap tahun dalam kalender adat. Hal ini terjadi karena belum ada pembagian kerja yang bersifat spesialisasi. Seperti halnya di daerah Ngada lainnya, di daerah Soa, tiap keluarga inti berfungsi unit produksi yang menghasilkan semua kebutuhan pokok bagi kehidupan anggota keluarganya sendiri, tidak tergantung pada keluarga lain. Hasil yang diperoleh dari berladang dipakai terutama untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, jika ada kelebihan, maka dibagikan kepada anggota keluarga yang lain (di waktu lalu) atau di jual ke pasar (di waktu sekarang). Tetapi kebanyakan orang Soa pada jaman dahulu masih menggunakan sistem barter atau tukar menukar hasil dari bercocok tanam/berladang.

Secara umum kehidupan berladang dan sawah di Soa tercermin dalam upacara adat. Misalnya upacara Dheli yang mencerminkan keberhasilan dan syukur atas panen yang didapat. Dalam upacara adat ini akan terlihat dengan jelas bagaimana orang soa mengekspresikan kegembiraan atas hasil panen yang diperoleh dengan menari keliling kampung dan dekorasi pakaian dari para pesertanya yang unik.

Sistem perladangan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari budaya dan sejarah umat manusia. Sebagai masyarakat yang menghargai tradisi, masyarakat Soa sangat respect terhadap keberadaan sistem bercocok tanam dengan sistem kepercayaan. Mereka meyakini bahwa ada bentuk lain dari yang tidak terlihat yang senantiasa menjaga, melindungi, memperhatikan, bahkan memberikan kemalangan dan bencana jika keseimbangan hubungan tidak dijaga. Bentuk lain dari Yang Maha Kuasa itu disebut dengan Ema Dewa. Ema Dewa merupakan representasi dari Tuhan itu sendiri. Kegiatan adat istiadat yang berhubungan dengan kegiatan pertanian dilakukan mulai dari awal pembukaan lahan sampai dengan panen, bahkan kegiatan keseharianpun misalnya saat makan dan minum tidak terlepas dari pemberian sesajian kepada roh-roh leluhur ataupun kepada Ema Dewa. Adapun Nitu juga dianggap sebagai pemberi kewaspadaan terhadap manusia. Dua hal mistik ini biasanya tidak terpisahkan dalam upacara apapun. Secara rinci dalam tradisi mengaruskan langkah-langkah proses pemberian yang benart dan jika melenceng dari upacara dimaksud resikonya sudah dapat dibayangkan dan menjadi konsekwensi dari pemimpin dan para anggota upacara. Upcara adat yang mengiringi kegiatan pembukaan lahan baru biasanya dimulai dengan upacara adat berburu yang merupakan peninggalan masa lampau manusia pada saat berburu dan meramu. Lahan yang dibersihkan kemudian dibuat lagi uipacara dengan ka uta uwi, yaitu makanan yang diperuntukan bagi orang yang membuka lahan tersebut yang merupakan makanan adat. Bahan utamanya adalah umbi (uwi, wonga (merungge), santan kelapa dan sedikit daging babi yang sudah disimpan lama,. Makanan ini harus disajikan dan disantap habis oleh anggotanya.

2.     Percaya Pada Wujud Tertinggi

Dalam sejarah hidup manusia selalu mempunyai pengalamamn atau situasi yang dapat menghantarnya pada kesadaran untuk menghayati kehidupan ini baik kehidupan jasmaniah maupun kehidupan rohaniah. Dalam lingkup social budaya masyarakat Soa wujud tteringgi di sebut dengan nama Ema Dewa. Ema adalah bapak yang selalu memberikan sesuatu, dan penuh kasih sayang dan yang selalu menjadi sandaran manusia di dalam hidupnya. Dewa adalah wujud tertinggi sebagai penguasa manusia, dan alam semesta. Dalam pemahaman keseharian Allah disebut dengan sebagai nama yaitu Dewa Zeta, Tua Dewa, Mori Dewa, dan Mori Bhu. Dewa Zeta dipahami sebagai Tuhan yang menjadi penguasa langit dan keberadaan yang merupakan sebuah misteri yang tidak kelihatan dan di yakini akan mendatangkan kebaikan kalau manusia berbuat baik dan akan mendatangkan malapetaka kalau manusia tidak setia kepada-Nya. Karena itu masyarakat selalu percaya bahwa segala sesuatu berikan akan kembali kepada-NYA.

3.     Percaya pada leluhur

Pemujaan terhadap leluhur menjadi salah satu bagian penting dari kegiatan suku-suku. Masyarakat Soa yakin akan campur tangan leluhur “atamata dhanga ghila” atas kehidupan manusia. Para leluhur (orang mati) tetap hidup dalam wujud roh (mae wa tana). Semua yyang telah meninggal dijemput oleh leluhurnya ke tempat yang sama. Contoh konkrit yang bisa di lakukan adalah ketika bekerja dari pagi hingga matahari yang sudah menjelang terbenam semua orang disarankan untuk berhenti drai segala aktifitas (kerja) karena akan bergantian para leluhur yang menggarap ahan itu. Hal ini merupakan suatu wujud kepercayaan yangmenyatakan bahwa pada malam hari para leluhur akan dating mengunjungi manusia yang hidup dan melihat hasil kerja manusia tersebut. Masyarakat Soa khususnya percaya bahwa setelah kematian akan ada kehidupan lain lagi yang abadi. Keyakinan ini bahkan sudah terlebih  dahulu .ada sebelun datangnya agama baru yaitu agama katolik.

Wujud pemujaan terhadap leluhur dilakukan melalui pemberian sesajian pada saat-saat tertentu”ti’i ka no’o wae/ate na’a ebu” pemberian makan kepada eluhur dimaksudkan untuk menghadirkan mereka dalam setiap kegiatan dan senantiasa agar jangan sampai terjadi hal yang diinginkan bersama atau dalam bahasa adat yakni ”ti’I to’o page penga”.banyak sekali upacar-upacara yang ddilakukan untuk menjaga keharmonisan hubungan ini. Pemberian makanan kepada leluhur dapat dilakukan di tempat-tempat seperti: di dalam rumah, di tugu batu, di depan rumah, di kuburan, serta di tempat yang diannggap sebagai penghuni roh leluhur. Sedangkan jenis makanan dan minuman bisa ttrgantung pada makanan sesama hidup atau makanan yang dianggap khusus dan paling di sukai seperti, hati ayam, hati babi, atau berupa daging isi serta minuman berupa moke/tuak dan siri tau pinang. Ini dilakukan dengan keyakinan bahwa orang mati tetap membutuhkan perhatian dan penghormatian  dari manusia yang masih hidup. Hidup di duna hanya sementara, dan kelak semua anggota keluarga akanm bersatu kembali dalam suasana yang baru.

4.     Percaya Pada Mahluk Halus

Masyarakat percaya akan adanya mahluk halus atau roh halus yang mendiami waktu dan ruang tertentu. Manusia ataupun hewan dilarang melintasi  tempat itu pada waktu tertentu, karena ada keyakinan bahwa makhluk halus atau roh halus tersebut dengan nama Nitu. Identitas Nitu dikenal dengan mempunyai warna dan ukuran tertentu. Nitu mendiami bagian-bagian tertentu baik di rumah maupun di alam  bebas, nitu di percaya mendiami pohon besar, sungai, mata air, batu besar, atau puncak bukit. Tempat-tempat itu dianggap angker dan pamali. Pada tempat-tempat ini di percayai bahwa nitu dapat berwujud bintang raksasa misalnya kucing yang ukurannya seperti kuda atau seorang nenek yang sedang duduk mengenakan pakayan putih tanpa memperlihatkan wajahnya, ataupun juga terdengar bunnyi gong dan gendang pada malam-malam tertentu disertai dengan suara banyak orang.

 

C.      Kearifan Lokal

a.      Pengertian

Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.

Ridwan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal” menyatakan bahwa kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas disusun secara etimologi, yaitu wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas.

Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.

Secara substansial, kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Geertz (2004) mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

2.Nilai-nilai dalam Kearifan Lokal

Kearifan lokal dapat diinternalisasikan dalam pendidikan karena memiliki kelebihan. Kelebihan tersebut menurut Mulyani (2011:631) sebagai berikut: (1) kearifan lokal dapat menjadi sarana pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana, (2) kearifan lokal memiliki nilai—nilai positif untuk dapat ditransformasikan kepada peserta didik guna membentuk kepribadian positif. Sebagaimana Sayuti (2009) mengemukakan bahwa budaya dan potensi lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas.

Geertz menambahkan bahwa lokal secara jelas adalah istilah yang relatif. Adapun relatif yang dirasa bermuatan negatif memandangnya sebagai a) universal yang sangat umum memandang bahwa kearifan lokal dapat berlaku dimanapun dan setiap daerah memiliki kearifan lokal yang esensinya sama, namun pola pengaturannya berbeda. Contohnya jas hujan yang dapat dipakai dimanapun dan fakta bahwa setiap masyarakat memiliki perangkat sosial yang berlaku di daerahnya dan perangkat tersebut berbeda satu dan lainnya. b) generalisasi yang lebih mendalami pertanyaan lokal daripada sebagai kesimpulan yang cocok untuk buku teks. Contohnya upacara pemakaman adalah hal yang baik untuk melihat apakah anda tertarik pada konsepsi orang tentang diri. Contoh lainnya, di Asia Tenggara, cenderung diferensiasi status menjadi suatu hal yang sangat penting daripada perbedaan gender. c) undang-undang yang menyatakan bahwa segala kearifan lokal yang ada dapat dikaji secara ilmiah yang menekankan pada hukum.

Contohnya perkara kanibalisme yang seharusnya menjadi perkara hukum, bukan sekadar suatu kekhasan dari kelompok masyarakat. Selain itu, pengetahuan mengenai kearifan lokal juga memiliki segi positif, yaitu: a) memiliki batasan-batasan bagi setiap individu dalam berinteraksi dengan individu lainnya dalam satu kelompok tersebut. Contohnya ada nilai yang berkembang mengenai bagaimana cara berkomunikasi yang baik antara orang tua dan anak muda. b) sifat terperinci dalam setiap kasus lokal yang terjadi, sehingga tidak muncul kesalahan yang akan menyudutkan salah satu individu. Contohnya adanya jumlah yang pasti terkait penelitian mengenai aspek kehidupan bersama potongan garis dunia daerah yang menjadi objek kajian. c) perbandingan yang mungkin dan perlu antara apa yang berkembang sekarang dan hal-hal yang melatarbelakanginya, sehingga kita dapat memperdalam kekhasan dari keduanya. Simpulan dari adanya segi positif dan negatif pada tiap pengetahuan kearifan lokal bahwa pengetahuan kearifan lokal itu bersifat substantif, milik seseorang, dan akan dilakukan saat ini.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini (dalam library.witpress.com) mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaankebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut.

Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif. Kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas kelompok tersebut, misalnya alonalon asal klakon (masyarakat Jawa Tengah), rawe-rawe rantas malang-malang putung (masyarakat Jawa Timur), ikhlas kiai-ne manfaat ilmu-ne, patuh guru-ne barokah urip-e (masyarakat pesantren), dan sebagainya.

Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi. Kearifan lokal sangat banyak fungsinya. Seperti yang dituliskan Sartini (2006), bahwa fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1.     Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.

2.     Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.

3.     Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

4.     Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

5.     Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.

6.     Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.

7.     Bermakna etika dan moral.

8.     Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client

b.     Muatan Kearifan Lokal

Berdasarkan hal tersebut, kearifan lokal dirasa sudah selayaknya menjadi bagian dari pendidikan karena dapat membantu dalam membentuk karakter dan identitas siswa. Pendapat ini didukung oleh Koesoema (2007:212-217) yang mengemukakan bahwa untuk mengaplikasikan pendidikan karakter ada lima unsur metode, yaitu:

  1. Mengajarkan nilai-nilai yang diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran sehingga peseta didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.
  2.  Keteladanan yang diperlihatkan oleh guru yang dalam bahasa Jawa berarti digugu lan ditiru, maupun dari model yang dipersiapkan guru.
  3.  Menentukan prioritas yang akan menjadi target penilaian afektif selama terjadi pembelajaran.
  4.  Praksis prioritas yaitu bidang kehidupan atau nilai yang menjadi prioritas dalam pendidikan karakter.
  5. Refleksi dilakukan untuk mengetahui kegagalan dan keberhasilan pendidikan karakter yang telah diintegrasikan ke dalam pembelajaran keterampilan menyimak.

Terkait dengan pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal, menurut Sutarno (2008: 7-6) ada empat macam pembelajaran bermuatan budaya lokal, yaitu:

  1.  Belajar tentang budaya, yaitu menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Budaya dipelajari dalam program studi khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, budaya tidak terintegrasi dengan bidang ilmu.
  2.  Belajar dengan budaya, terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari pokok bahasan tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam untuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya, budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran.
  3. Belajar melalui budaya, merupakan strategi yang memberikan kesempatan siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui ragam perwujudan budaya.
  4. Belajar berbudaya, merupakan bentuk mengejawantahkan budaya itu dalam perilaku nyata sehari-hari siswa. Misalnya, anak dibudayakan untuk selalu menggunakan bere pada hari sabtu melalui Program Sabtu Budaya.

Sementara itu Sutarno (2008: 7-10) menuliskan ada tiga macam model pembelajaran berbasis budaya lokal, yaitu:

    1. 1.    Model pembelajaran berbasis budaya melalui permainan tradisional dan lagu-lagu daerah.
    2. 2.    Model pembelajaran berbasis budaya melaui cerita rakyat.
    3. 3.    Model pembelajaran berbasis budaya melalui penggunaan alat-alat tradisional.


D.     Contoh Materi Bermuatan Kearifan Lokal

1)     Tinju Adat (Sagi)

Ada banyak sekali upacara adat yang merupakan hasil kebudayaan yang terdapat di So’a di antaranya Sagi (Tinju Adat), Dero (upacara tarian untuk mengiringi tinju atau penyemangat terhadap orang yang akan bertinju yang di lakukan pada malam sebelum tinju), Tu Ngawu , Feka (upacara pendewasaan diri), Rori Lako (berburu), Sapu, Kiki Ngi’i (acara potong gigi bagi anak wanita), Yo Goe, Die rie (upacara adat dengan nyanyi-nyanyian dan pantun mengiringi kepergian dan kedatangan para pemburu), Dheli, Para Zedhe, Dhodho (acara tusuk telinga bagi anak wanita), Bhole (upacara syukuran panen) dan lain-lain yang dilakukan setahun sekali, setiap lima tahun dan ada juga yang dilakukan  sepuluh tahun sekali. Dan kegiatan inipun dilakukan secara umum dalam semua lapisan masyarakat dan diadakan cukup meriah dan ramai.

Sagi (Tinju adat) adalah salah satu jenis olahraga masyarakat etnis Soa (ada juga di tempat lain dengan istilah berbeda; di Ngada dan Nagekeo khususnya). Ketika menyaksikan sagi yang terbersit dalam ingatan dan pikiran seseorang adalah tentang kekerasan. Perspektif awam bisa dimaklumi karena berkenaan dengan mengadu orang merupakan cara yang dilakukan dalam hukum purba dan berpotensi konflik karena terjadi benturan fisik kedua belah pihak. Jika pandangan awam ini diulas lebih lanjut dianalisis sebagaimana budaya sagi yang sebenarnya, maka kita menemukan suatu yang berbeda dan sesuatu yang tak disadari baik oleh pengikut tradisi tinju itu sendiri maupun oleh awam yang mengira bahwa Sagi adalah budaya kekerasan semata.

Anggapan lain menyatakan bahwa sagi itu adalah bagian dari pertunjukan keperkasaan lelaki yang identik dengan kekuatan. Benarkah demikian? Kenyataannya dalam sagi, wanitapun memperoleh kesempatan yang sama untuk bertinju, namun tidak terlalu diexspose menjadi bahan pembicaraan lelaki, bahkan sagi yang dilakukan wanita biasanya tidak mempunyai penikmat yang banyak. Apakah tinju yang lakoni oleh wanita menunjukan keperkasaan wanita? menjadi kurang adil jika keduanya disandingkan karena juga akan merendahkan derajat dan kewibawaan lelaki. Sehingga menjadi polemik yang panjang untuk diperdebatkan. Jadi sagi bukan juga menunjukan keperkasaan, karena tidak ada pihak yang benar-benar merasa menang atau kalah. Pengaruhnya adalah settingan waktu untuk sagi wanita biasanya dilakukan ketika hari menjelang siang, di mana kebanyakan orang masih sibuk di rumahnya menyiapkan segala sesuatu dalam rangka penyambutan terhadap tamu-tamu rumah nantinya. Perlulah diselipkan  bahwa makanan yang disajikan berupa daging babi yang dibuat dalam bentuk olahan adat (ra’a rete) dengan maksud menghilangkan sifat kemalasan yang dimiliki seekor babi.

 Sagi lebih diidentikan kepada pemilihan yang seimbang dalam hal lawan yang mau bertinju. Jika disinkronkan dengan kehidupan masa kini akan sangat bertolak belakang dengan aroma humanismenya. Karena alasan inilah maka menjadi perhatian kita jika pemaknaan terhadap tradisi budaya sagi harus lebih diintenskan pemaknaan. Berbagai kasus kemanusiaan tak terkendali seharusnya bisa berkaca dari tradisi ini.

Sagi mengajarkan kepada pengikutnya bahwa lawan itu bukan untuk dicemoohkan, lawan bukan dijadikan musuh selamanya, dan lawan bukan musuh yang harus dibenci oleh suatu kelompok kepada kelompok lainnya. Dalam sagi diperlihatkan bahwa sagi menuntut pelaku sagi yang akan bertanding untuk; a)  melihat/memperhatikan apakah lawannya sepadan atau tidak, b) mempunyai jejak rekam sikap bertinju, c) bukan keturunan sedarah dekat, dan d) tidak menaruh dendam setelah selesai bertinju. Untuk yang terakhir dari point di atas merupakan kesadaran yang sudah membudaya dan terpatri dalam hati terdalam berkat kearifan lokal yang diwariskan. Jika keempat hal ini terpenuhi, petinju sudah bisa memenuhi syarat untuk maju menuaikan tugasnya di depan umum.

Sebagai makna dari fakta tersimpulan per item di atas adalah 1). peristiwa ini adalah tentang kebajikan dan rasa rendah hati yang ditonjolkan. Kebajikan sebagai seorang ksatria memang akhir-akhir ini sudah menjadi pokok persoalan public dari perdebatan tak berujung jika bercermin dari sejarah orang-orang baik tertentu yang pernah hidup pada masanya. Banyaknya kaum lelaki yang tidak mau menunjukan sikap ksatrianya dengan memilih lawan yang seimbang, maka terjadilah kekerasan yang menjadi korban mayoritasnya adalah wanita yang tak berdaya, begitupun sebaliknya jika korbannya adalah pria maka dilakukan oleh wanita dengan cara yang licik dan pengecut. Tak berbeda juga yang ditunjukan dalam menghabisi sesama lelaki atau sesama wanita. Budaya sagi sebenarnya sudah dikesampingkan dalam hal memilih lawan yang cerdas dan tepat dengan pokok persoalan yang rasional. 2) mempunyai jejak rekam yang baik sudah merupakan prioritas yang diutamakan karena sang petinju akan menunjukan keahliannya yang memuaskan penonton. Intinya bukan soal kalah menang tetapi bagaimana ia menunjukan dan kepiawaiannya berujung kepuasan parapenikmatnya. Apabila dihubungkan dengan sifat kepemimpinan sudah layaknya pemimpin haruslah mampu melakonkan diri layaknya petinju dimaksud. 3) suatu keturunan dekat itu adalah suatu keluarga besar karena merupakan suatu ikatan emosional berdasarkan silsilah dan garis keturunan. Semua yang berkaitan dengan keluarga adalah contoh-contoh baik dan keakraban yang didapat bukannya terceraiberaikan; ketika memasuki moment pemilu misalnya. 4). Dendam adalah sifat dasar yang melekat pada diri setiap orang namun rasa ini bisa diabaikan dengan alat kontrol yaitu pikiran. Dalam situasi sagi  hal ini sudah diajarkan secara turun temurun. Aroma kearifan yang membudaya ini sudah sepantasnya bisa diambil hikmahnya dalam hubungkan dengan tingkah laku sekelompok orang yang masih menyimpan dendam kepada kelompok lainnya. Fenomena yang menggejala akhir-akhir ini menunjukan adanya rasa ketidakpuasan berujung kekerasan dari kelompok-kelomnpok atau individu-individu tertentu karena ingin membalaskan dendamnya. Tupoksi sagi sudah tentu bukan bagian dari ini.

Sebagai kesimpulannya bahwa faktanya dendam berujung kekerasan itu tidak diajarkan dari budaya Sagi. Sagi bukanlah budaya kekerasan seperti yang dianggap karena ada banyak makna tersembunyi yang belum dinampakkan filosinya ke kepermukaan. Justru Sagi mau menunjukan sifat kebajikan, ksatria dan penghargaan terhadap lawan yang terlibat dalam upacara itu. Image kemiskinan sebagai kemiskinan natural melandasi judgement bahwa kemiskinan itu sebagai sesuatu yang alami. Oleh karena itu adalah sùdah bersifat alamiah apabila suatu daerah miskin sumber daya maka penduduknya juga miskin, atau seorang individu yang tidak mampu bekerja karena kondisi fisiknya tidak mengijinkan, maka individu tersebut miskin. Ini ibarat orang yang sudah dianggap sewajarnya tenggelam hanya karena perahunya pecah dan ia tidak dapat berenang.

2). Mengenal Makna

Selepas ritual pemotongan lopis raksasa, ribuan orang yang kebanyakan wisatawan lokal dan sudah menanti sejak pagi, akan serempak menyerbu serta memperebutkan kue lopis tersebut secara gratis. Mereka rela berdesakdesakan untuk mendapat secuil lopis. Semua it bukan didorong oleh rasa lapar, namun karena mereka meyakini lopis tersebut bakal memberi berkah kehidupan yang lebih mapan dan menyenangkan. Selain itu, lopis dimaknai sebagai pengikat persatuan dan kesatuan, karena terbuat dari beras ketan yang cukup ulet.

Bagi warga Krapyak, Pekalongan, kue ini menjadi sarana paling ampuh menciptakan kerukunan umat muslim. Betapa tidak? Lopis raksasa ini tidak mungkin bisa terwujud, kalau tidak ada semangat gotong-royongnya.

Tak mengherankan, jika ribuan warga rela berdesak-desakan, lalu berebut potongan lopis raksasa.. Setiap tahun, ukuran kue lopis makin besar, karena banyaknya warga yang terlibat. Masyarakat Krapyak juga biasanya menyediakan makan-an ringan dan minuman secara gratis kepada para pengunjung. Jumlah pengunjung pada tradisi ini mencapai ribuan orang yang berasal dari seluruh Kota Pekalongan dan sekitarnya. Keberadaan lopis terbesar selama ini menunjukkan bahwa semangat masyarakat dalam melestarikan tradisi itu begitu besar.

Tradisi itu cukup baik. Masyarakat dari luar pun menilai perilaku masyarakat yang menyelenggarakan lopisan dan menyediakan makan gratis tanpa memandang pengunjungnya, menunjukkan keterbukaan masyarakat Krapyak. Itu artinya mengembangkan persatuan di antara masyarakat. Tradisi menyediakan makanan gratis itu merupakan tradisi khas Pekalongan yang menggambarkan jiwa masyarakatnya.

Bahkan bukan hanya sdilakukan saat lopisan, tetapi saat masyarakat kini juga mengembangkan makanan gratis itu pada Agustusan. Tamu yang datang dijamu makanan secara gratis, meski tidak dikenalnya. Karena itu, tradisi ini perlu tetap dilestarikan sebagai ikon budaya Pekalongan.

Dukungan dari berbagai kalangan tetap dibutuhkan, yaitu seluruh masyarakat, tokoh masyarakat, dan pemerintah sehingga wisatawan yang kebetulan berkunjung bertepatan dengan pergelaran acara-acara tradisional ini bisa ikut menyaksikan jalannya upacara yang menarik dan unik.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer