ARTIKEL KWN


TUGAS ARTIKEL

MATA KULIAH PENDIDIKAN ETIKA KEWARGANEGARAAN DALAM IPS

 

DOSEN PENGASUH: Dr. DADANG SUNDAWA, M.Pd

 



 

 

 

OLEH

 

FRANSISKUS XAVERIUS REMA

NIM: 2106653

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU SOSIAL

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS

2022

 

 

 

 

 

 

TOLERANSI KEHIDUPAN UMAT BERAGAMA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT ENDE-LIO

(Refleksi historis tentang Pancasila, Sukarno, dan  Budaya Ende-Lio)

 

1.      Pendahuluan

Artikel ini memaparkan secara deskriptif tentang pandangan eksistensi  dalam refleksi kehidupan umat beragama yang bertoleransi dari masyarakat Ende-Lio di kabupaten Ende di wilayah administratif provinsi Nusa Tenggara Timut (NTT). Ende dan Lio dikategorikan sebagai sub suku yang mendiami pulau Flores Tengah. Dalam cakupan pengetahuannya, fokus yang dikaji adalah tentang toleransi kehidupan beragama yang terjalin dalam budaya secara tradisional yang kemudian dikohubungankan dengan sejarah tentang penemuan embrio Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Aksistensi tradisi merupakan elemen penting dan hal ini telah ditemukan oleh Soekarno (Presiden pertama Indonesia) dalam permenungannya selama menjalani pembuangannya di Ende tahun 1934-1938. Dari sisi historisnya dan kronologi sejarahnya bahwa letak wilayah Kota Ende yang strategis berada di tengah Pulau Flores membuat daerah ini diminati para saudagar dari Gujarat, Cina, kaum muslim, Kerajaan Majapahit, Gowa, Bugis, Bima, Portugis dan Belanda. Pengenalan dengan berbagai budaya yang heterogen ini kemudian menjadi petunjuk dasar memahami keberagaman dalam satu kesatuan yang semakin erat ikatan toleransinya.

Nilai-nilai pancasila yang terkandung telah menjadi payung yang melindungi segala ancaman kehidupan berbangsa inilah yang kemudian menjadi patokan dasar dalam karakter dasar hidup bersosial. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukan oleh Risladiba, R., & Sundawa, D (2018) bahwa:

The values contained in Pancasila were originally a long-lived and well-developed civilization long before the state of Indonesia was formed and independent. these values areextracted from the unique Indonesian culture and have their own characteristics. The values are then used as a basis in the life of society, nation, and state. Thus, these values should have been ingrained and characterized and characterized by Indonesian citizens. "Pancasila as an umbrella is expected to be accepted by all groups, diverse societies, so that it can coexist peacefully under the umbrella of five basic principles in a state". Pancasila is the most likely alternative in maintaining Indonesian.

Dalam sejarah Indonesia, butir-butir Pancasila yang diinisiasi oleh Soekarno menjadi penemuan nilai kebangsaan yang sangat berharga. Bagi bangsa yang telah dijajah selama bertahun-tahun lamanya dengan pergantian rezim dan negara-negara Eropa seperti, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis dan Jepang membuat falsafah pancasila menjadi suatu kekuatan dan sumber persatuan masyarakat hingga saat ini. Dapat dikatakan, penemuan “Pancasila” oleh Soekarno, menjadi titik pijak kebangsaan Indonesia. Saat, Soekarno telah menjadi Presiden dan mencetuskan Pancasila, pada tahun 1952, ia pertama kali kembali berkunjung ke Ende, Flores, salah satu tempat dimana ia dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sukarno menyatakan bahwa:

“Saya, pernah hidup di Ende, makan sayur, minum air Ende dan menetap di rumah Haji Abdullah Ambuwaru seorang Islam sejati. Kami diterima secara adat sebagai keluarga. Ende, kemanusiaannya tinggi ya! Menerima saya dan keluarga dengan tulus hati sebagai saudara. Kamu sungguh paham Flores adalah Sunda kecil. Saya, benar-benar menemukan nilai-nilai Pancasila merupakan filtrasi dari sebagian besar nilai-nilai budaya Ende yang adalah Sunda kecil dan Jawa...!, adalah Sunda besar. Di Ende-lah kutemukan falsafah negara. Ende dan Jawa sama-sama Sunda”.

 Di sini banyak tempat-tempat angker ya, hening, cocok untuk kurenung. Orangnya polos, lugu, berbudaya original, memiliki hati nurani suci dan luhur”. Beliau terkesan di Ende Lio terdapat banyak tempat angker, pemali yang secara adat dilarang didekati. (Seperti yang dikisahkan dalam Hj. Dae Mare (78), Budayawan Onewitu Ende., tentang pengakuan Soekarno saat kunjungan perdananya sebagai Presiden Republik Indonesia ke Ende tahun 1955  dalam Kean, Yohanes Y. W. (2015)  dan Tara, T. K. (2021).

Pada tahun 1955, pada saat kunjungan kedua, Soekarno sendiri memberi kesaksian yang penting, dengan mengatakan: “Di Kota Ini Kutemukan Lima Butir Mutiara, Di Bawah Pohon Sukun Ini Pula Kurenungkan Nilai-Nilai Luhur Pancasila”. Pernyataan inilah yang akhirnya menyatukan Ende dan Flores sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Pancasila dan miniatur tentang keberagaman hidup toleransi dan berdampingan di tengah perbedaan seperti masyarakat Indonesia umumnya. Ende adalah rumah pokok pancasila dan menjadi indikator dari pluralisme yang berbhineka, serta cerminan keunikan masyarakat yang tidak tergerus zaman.. Kesaksian hidup dalam berbudaya Ende Lio-lah membuat beliau mampu bersintesa dan berani mengambil kesimpulan tegas yang tak terbantahkan yang kemudian hari berkembang menjadi ideologi yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai saat ini.

Dalam tradisi yang melekat bahwa kebersamaan manusia dalam berbagai perbedaan segalanya lantas membuat hubungan sesasama manusia menjadi kurang toleransi tetapi merupakan ajang pemersatu. Perbedaan dalam perspektif orang Ende Lio, tidak selamanya digeneralisir kotor, jelek, dosa dan jahat. Peristiwa seperti itu merupakan sebuah momen penyesuaian menuju toleransi sesuai situasi. Melalui proses waktu dengan sendirinya terjadi penyesuaian antarmanusia yang saling membutuhkan. Bagi manusia ada sarana penyesuaian diri melalui ritus adat sebagai alat menebus kesalahan dan menutup rasa malu. Tradisi itu bertujuan menciptakan toleransi dalam kebersamaan. Manusia dan alam semesta pada dasarnya baik walaupun terkadang terpapar dimensi kontradiksi, yang mencekam dalam kebersamaan. Hidup yang toleransi dalam konteks filosofi Ende Lio telah terkristal dalam hidup berbudaya. Masyarakat memandang dunia pada dasarnya suci. Dunia dan alam adalah suci, penuh toleransi dan tidak boleh dirusak oleh manusia. Manusia yang bertoleransi dengan alam akan disebut suci karena kehidupannya yang bijak, kritis, dan realistis menghadapi dunia. Toleransi tidak selalu berarti seragam dan tidak terjadi kekacauan.

Cerminan yang dijalani dalam karakter dasar orang Ende Lio sangat dipengaruhi oleh tata adat dan budayanya yang sangat ketal dan lestari dilakukan oleh setiap pengikutnya. Setiap masyarakat harus saling menerima dan harus menunjukkan perilaku penghormatan kepada ketiga aspek: menghormati Wujud Tertinggi, mengasihi sesama dan menghargai alam ciptaan. Perbedaan suku dan agama tidaklah menjadi halangan bagi masyarakat Ende Lio untuk menghormati orang lain. Bahkan perbedaan itu dilihat sebagai kondisi untuk bersatu sebagai sesama bersaudara.

Soekarno mengalami bahwa apa yang telah dipercayai dan dilakukan oleh masyarakat Ende Lio adalah yang seharusnya menjadi sikap dan perilaku Bangsa Indonesia. Ketiga tunggu yang menjadi jiwa budaya Ende Lio yaitu hubungan akrab manusia dengan Wujud Tertingginya, hubungan antarsesama manusia, dan hubungan dengan alam sejagat adalah kekuatan sebuah bangsa. Dengan memperhatikan aspek sejarah dan budaya sebagai tradisi yang melekat dalam masyarakat Ende-Lio yang dihubungkan dengan Pancasila sebagai barometer kehidupan masyarakat secara khusus maka penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini dengan pokok permasalah yang diangkat dalam bentuk pertanyaan dalam artikel ini yaitu: 1) Bagaimanakah toleransi hidup dalam perspektif budaya Ende Lio, 2) Bagaimanakah Pancasila dan perjumpaan Soekarno dengan kebudayaan Ende Lio, dan 3) Bagaimanakah toleransi masyarakat Ende-Lio dalam perspektif kepercayaan asli. Artikel ini ditulis dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dan penelusuran sumber dengan memanfaatkan sumber pustaka yaitu dari jurnal dan buku-buku sebagai sumber utamanya.

 

 

2.      Pembahasan

2.1  Toleransi Hidup perspektif Budaya Ende Lio

Dalam pengeretian tentang toleransi Suharyanto,( 2013) dalam  Dewantara, J. A., dkk (2019) menyatakan bahwa Tolerance is the only sure way to practice the Pancasila. Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa hanya ideologi pancasilalah yang mampu mengatasi persoalan kebangsaan dalam lingkup keIndonesiaan. Karena itu Pancasila yang lahir dan tumbuh serta berkembang di Indonesia merupakan  kebudayaan dan tradisi asli bangsa Indonesia. Dalam buku “Teologi Terlibat”, ditulis oleh Dr. Paulus Budi Kleden SVD, mengetengahkan: Kebudayaan adalah suatu totalitas aktivitas. Itu berarti, kebudayaan bukan cuma menyangkut karya-karya seni yang pernah dihasilkan atau tarian yang diperagakan untuk mengundang kekaguman para turis. Sebaliknya, kebudayaan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, bagaimana seorang warga  masyarakat tertentu memahami dirinya dan mencari bentuk pengungkapan pemahaman diri itu di dalam tindakan nyata ataupun melalui bahasa dan simbol- simbol lainnya. Memahami satu aspek kebudayaan tidak mungkin dilaksanakan tanpa mencari penjelasan dari aspek-aspek dasarnya. Orang tak dapat mencabik-cabik sejumlah unsur kebudayaan dan mencangkokkannya pada totalitas lain tanpa mengubah seluruh warna budaya.” (Kleden , 2012:5) Sejalan dengan itu, Koentjaraningrat menggarisbawahi: “Totalitas ini dapat dilihat dari tiga aspek dasar: aspek pengetahuan atau kognitif, aspek nilai atau etis dan aspek tindakan atau praktis. (Koentjaraningrat, 1987:167)

Masyarakat Ende Lio, dalam pencarian toleransi hidup, secara lengkap melihat totalitas pengalaman (experience) berbudaya terpatri dalam tiga tungku yakni aspek Teologis, Antropologis dan kosmologis. Ketiganya merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Hubungan akrab manusia dengan Wujud Tertingginya, hubungan antarsesama manusia, dan hubungan dengan alam sejagat adalah jalan bagi manusia dalam menemukan toleransi hidup. Ketiga hubungan ini dibangun lewat adat istiadat orang Ende Lio untuk mencapai kebahagiaan hidup dan toleransi batin (soal batin) yang menyentuh kehidupan manusianya. Manusia pada dasarnya merindukan toleransi hidup surgawi yang menduniawi. Cita-cita damai sejahtera yang berujung pada sebuah pengalaman “Suka cita” minus-malum mesti terwujud. Damai yang dimaksudkan tidak sebatas hubungan antarmanusia saja, melainkan sejumlah kemampuan-kesadaran akan pentingnya perdamaian dengan Wujud Tertinggi dan alam sejagat. Melalui perdamaian tiga tungku, diharapkan hubungan (relation) ketiga-tiganya secara alamiah harus tetap saling menjaga, merawat dan melestarikannya dalam konteks kesempurnaan universal.

Manusia menyadari bahwa yang lain ada karena adanya kekuatan yang lain. Tanpa ada Ada Yang Lain, tentu, yang ada akan terhimpit dan dengan sendirinya atau akan lenyap karena saling berperang. Pada umumnya dunia dan manusia sering kacau karena kurang adanya kerja sama dan saling menerima. Kekacauan akan berkiprah jika segala unsur terjadi pertentangan “mau” berpisah” dari yang lain. Sikap berperang semisal: manusia dengan sesama manusia (bermusuhan), manusia dengan alam (pengerusakan), alam dengan manusia (bencana), manusia dengan Wujud Tertinggi (dosa dan kesombongan), Wujud tertinggi dengan manusia (kutukan), semuanya akan terjadi kacau balau. Manusia yang memiliki akal budi harus mampu merujuk dengan yang lain. Bagi orang Ende Lio maupun pendatang pada dasarnya tidak mau kacau. Sebaiknya tingkatkan persaudaraan dan cinta damai. Pandangan tiga tungku Ende Lio yang telah terkristal dalam tata adatnya merupakan pandangan suci yang mesti dijempoli walaupun masih dalam proses pencarian menuju kesempurnaan hidup tanpa batas. Setiap aspek hidup ada rahasia yang tersembunyi. Itulah filosofi yang terselubung dalam peradaban budaya Ende Lio. Semua peristiwa, baru bisa dipahami bila sudah mampu meleburkan diri dalam dunia tiga tungku: aspek Teologis, aspek antropologis dan kesadaran akan aspek ekologis konteks kosmologis. Manusia wajib berdamai dengan yang lain untuk hidup bahagia dan toleransi. (Tara, T. K. 2021).

2.2  Pancasila dan perjumpaan Soekarno dengan Kebudayaan Ende Lio.

Soekarno dalam pembuangannnya di Ende oleh pemerintah Hindia Belanda, menyadari betul bahwa Pancasila sangatlah sakral dan berarti bagi bangsa Indonesia yang majemuk. Karena itu maka pancasila harus segera diimplementasikan agar keindonesiaan tetap terjaga layaknya kehidupan berbangasa yang telah terjalin semenjak dahulu kala. Hal ini senada dengan (Kaelan, 2007) seperti yang dikutip oleh Dewantara, dkk(2019) yang menegaskan bahwa:

 Pancasila as the basis of the country and the view of the nation that serves as a unifying life of a pluralistic state. Pancasila has a very big influence on the Indonesian people because the history of Pancasila influences the diversity of tribes, religions, regional languages, regions, customs, cultural habits, and skin colors that make Pancasila a symbol of agreement in bringing these things together. The history of Pancasila is part of the core history of the Indonesian state, so that Pancasila is considered very sacred and must be memorized and obeyed by all Indonesian people. (Dewantara, J. A.dkk, 2019)

Ende sangat kontras dengan Jawa sehingga pemikiran Soekarno ditempuh dengan dua jalan selama pengasingannya. Pertama memperluas pengetahuan dan memperdalam agama  Islam,        kedua  memperluas  pengetahuannya tentang agama Kristen dengan bergaul akrab para pastor. Pendalaman Soekarno tentang Islam di Ende lewat surat-surat Islam yang ditujukan kepada T.A. Hassan guru Persatuan Islam di Bandung. Beberapa buku-buku yang diminta Soekarno diantaranya: (1) pengajaran shalat, (2) utusan wahabi, (3) Al-Muchtar, (4) Debat Talqien, (5) Burhan complet (6) Al- Djawahir. Selain memperdalam agama Islam Soekarno banyak belajar tentang agama Kristen dan bersahabat dengan para pastor diantaranya Pater Huijtink dan Pater Bouma serta para bruder. Selama di Ende Soekarno diperbolehkan secara leluasa membaca buku-buku di perpustakaan pastoran dan istirahat di rumah pastoran. Soekarno banyak berbicara dan berdiskusi dengan para pastor. Selain itu juga Soekarno sering menyewa gedung paroki atau Immaculata untuk mengadakan pertunjukkan sandiwara dengan orang Flores. (Samingan, S., & Roe, Y. T., 2021).

Soekarno melalui proses pertapaannya (merenung) di bawah pohon Sukun, sungguh mengalami dan merasakan situasi budaya tiga tungku yang dimiliki masyarakat Ende Lio. Buah perenungannya bisa mengubah disposisi batin, pikiran dan tindakannya sebagai pencetus Pancasila. Konsep “Toleransi hidup” perspektif budaya Ende Lio sungguh filosofis dan mempengaruhi cara pandangnya sebagai bapak bangsa. Pemikiran Soekarno tentang butir- butir Pancasila tumbuh subur di Ende terbagi dalam 4 kata kunci, yaitu Islam, diskusi, aksi teater, dan refleksi. Soekarno mengatakan Pancasila lahir dari berbagai budaya, agama dan peran yang kuat adalah Islam. Nilai-nilai Islam telah terintegrasi pada sila-sila dan sebagai puncak dari Pancasila adalah ujung dari kegiatan manusia (causa finalis), yaitu persatuan secara metafisis dengan Tuhan. Dalam diskusi para pastor sahabat Soekarno menemukan sebuah ide tentang perumusan butir-butir Pancasila. Ada dua pertannyaan yang diajukkan dari sahabtanya, yaitu Pertama “dimana tempat mamamu yang beragama Hindu itu di dalam negara yang mayoritas muslim?” Kedua “dimana tempat orang-orang Flores yang mayoritas Katolik ini dalam negara yang Marxis dan mayoritas muslim itu?”. Kedua pertanyaan ini memaksa Soekarno untuk berfikir secara mendalam. (Samingan, S., & Roe, Y. T., 2021).

Pengakuan akan adanya Wujud Tertinggi oleh masyarakat Ende Lio menyadarkan Soekarno saat permenungannya di bawah pohon sukun; bahwa di Ende Lio sudah ada filosofi Tuhan. Kehidupan mereka sudah membudaya tentang Tuhannya menjadi sentral kepercayaan masyarakat. Kedudukan Tuhan mendapat porsi teratas dalam segala aktivitas manusia. Karena Allah atau Tuhanya selain di atas langit namun ada di bumi juga, maka takut akan Tuhan sangat kuat. Falsafah Pancasila harus menempatkan Ketuhanan pada urutan teratas seperti filosofi masyarakat Ende Lio. Hasil akhir yang dinikmati masyarakat Ende Lio pun seluruh bangsa Indonesia adalah perdamaian universal terjawab seperti yang diidam-idamkan. Urutan kedua baru berbicara bagaimana hubungan antara manusia satu dengan manusia lain secara humaniora (aspek antropologis) “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Urutan ketiga berbicara kira-kira bagaimana hubungan manusia dengan alam sejagat; bangsa dan bertanah air satu diramu dalam sila ketiga Pancasila yakni, “Persatuan Indonesia” (aspek kosmologis). Urutan keempat tentang tata cara hubungan antarmanusia sebagai pemimpin dan rakyatnya dalam pembicaraan adat melalui dialog dan musyawarah. Hal ini, diramu dalam sila keempat Pancasila; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikhmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ke lima berbicara tentang sikap nyata dan sifat dasar keadilan manusia dalam kebersamaan dalam pengertian Ende Lio, bahwa Mosalaki/mosarhaki membagi lahan tanah kepada rakyat jelata (membiarkan orang lain tetap hidup). “Keadilan yang bersosial” baik lingkup kecil maupun dalam konteks universal tertuang dalam sila kelima “Keadilan manusia bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesemuanya direnung, dicernah atau dianalisis serta didalami sungguh oleh Soekarno. Masyarakat Ende Lio melihat pentingnya toleransi manusia dengan sesamanya (aspek antropologis). Hal yang sangat mendasar yang ditekankan adalah pentingnya hubungan humanis antarmanusia untuk segala aspek kehidupan (persaudaraan). Hubungan kemanusiaan itu sungguh penting. Karena penting maka dijadikan adat istiadat dan bukan sekadar kebiasaan. Tara, T. K. (2021)

Diskusi proses penemuan Pancasila sebagai ligatur (pemersatu) bangsa dan sekaligus dasar negara merdeka, tidak terlepas dari peran besar yang dimainkan oleh Sukarno. Dalam pidatonya di depan Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 Mei – 1 Juni, Soekarno menyebut Pancasila untuk merujuk pada butir-butir pemikiran yang diusulkannya sebagai dasar negara Indonesia merdeka. P.J.Suswarno, 1993:17-38) Kelima butir pemikiran tersebut, yakni (1) Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau prinsip peri- kemanusiaan; (3) Mufakat atau demokrasi; (4) Kesejahteraan sosial; dan (5) Prinsip Ketuhanan yang berkebudayaan. (Muhammad Yamin,1959:69-78)

Usulan pemikiran Soekarno diterima BPUPKI dan dielaborasi lebih jauh oleh Panitia Sembilan. Tugas dan tujuan dari dibentuknya panitia sembilan ini adalah untuk merumuskan dasar negara Indonesia merdeka dan tujuan pembentukan Indonesia merdeka. Dari sidang yang dilaksanakan oleh Panitia sembilan, disampaikan rumusan dasar negara/ rumusan pancasila, disebut dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Isi Piagam Jakarta adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rangkaian proses penemuan Pancasila ternyata belum berakhir, karena setelah penetapan rumusan dasar negara yang tercantum dalam Piagam Jakarta, pemeluk agama lain (non-islam) dan terutama tokoh-tokoh dari Indonesia bagian timur merasa keberatan dengan kalimat pada sila pertama, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”. Jika hal ini tidak diperhatikan, maka golongan Kristen dan Katolik lebih suka berada di luar republik. (Mustafa Kamal Pasha, dkk, 2003:32)

Demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, tujuh kata di belakang Ketuhanan dihapus dan diganti dengan “Yang Maha Esa”, suatu anak kalimat yang kiranya dapat diterima oleh semua pihak. Selanjutnya, PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 memutuskan bahwa Naskah Piagam Jakarta dijadikan UUD RI dengan terlebih dahulu diadakan perubahan pada alinea keempat: Rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akhirnya rumusan final Pancasila sebagai dasar negara yang sah dan benar adalah: (1) Ketuhanan yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan /perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Kristoforus Kopong, 2015:14). Prinsip yang mampu mengikat dan merangkum keanekaragaman komponen bangsa adalah Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu, nilai-nilai tersebut merupakan kepribadian bangsa Indonesia. Sejak awal Bung Karno menjelaskan, bahwa Pancasila merupakan de grootste gemene deeler dan de kleinste gemene veelvoud dari keanekaragaman budaya dan adat bangsa (Soeprapto, 2005: 24).

 Implementasi nilai-nilai Pancasila harus datang dan timbul dari masyarakat Indonesia sendiri yang berarti bahwa Pancasila memang  dibutuhkan sebagai pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila yang memiliki semboyan ke- Bhinneka Tunggal Ika-an,  dengan pluralism dan multikulturalisme yang harus disatukan oleh “rasa bersama” dalam idiom   nation-state berikut semangat nasionalisme yang menyertainya.(Risladiba, R., & Sundawa, D. (2019).

Dalam proses panjang perumusan Pancasila tentu terjadi lobi-lobi, polemik, dan perdebatan yang sangat alot dalam beberapa pertemuan yang telah terjadi. Semua hal yang terjadi baik dalam sidang BPUPKI I, BPUPKI II dan juga PPKI merupakan proses pemurnian buah pemikiran para founding fathers. Sikap ke-negarawan-an pendahulu memperlihatkan adanya keterarahan pikiran dan kehendak mereka untuk menempatkan pokok persoalan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan yang merupakan identitas bangsa Indonesia. Oleh karenya ini permasalhan ini disikapi dengan kompromi pikiran dan kehendak dimana merupakan cara bijak untuk menemukan alternatif terbaik yang dapat mengakomodir keinginan semua pihak. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan sintesis dari antitesis-antitesis pikiran keagamaan semua golongan dari Marauke (kota paling Timur) sampai Sabang (kota paling Barat) dan dari Miangas (pulau paling Utara) hingga Rote (pulau paling Selatan). Rumusan para founding fathers tersebut merupakam par exellence dari upaya untuk memenuhi kebutuhan akan adanya landasan hidup bersama sebagai bangsa yang multikultural.(Kristoforus Kopong, 2015:14).

 

2.3  Toleransi Masyarakat Ende-Lio dalam Perspektif kepercayaan Asli

a.    Hubungan dengan Ndu’a Nga’E (Wujud Tertinggi)

Adat adalah peraturan tata tertib yang di manfaatkan untuk mengatur segala hubungan antara manusia dengan alam, serta manusia dengan arwah  leluhur. Selanjutnya Kessing berpendapat juga bahwa kebudayaan itu lahir sejak nenek moyang itu ada, maka terjadilah hubungan manusia dengan alam dan serkitarnya, karena kebudayaan itu tumbuh dan berkembang di alam ini, maka dapat di tafsirkan bahwa secara kodrat, manusia adalah mahluk yang berbudaya Kessing, (1980:147-148). Masyarakat Ende Lio mengalami Wujud Tertinggi itu Ada dan memiliki Wujud Suci yang mempunyai hubungan personalnya dengan manusia dan alam sejagat. Melalui pengalaman, manusia merasa kehadiran Wujud Tertinggi sebagai penguasa atas manusia. Melalui rasa dan perasaan mereka percaya menuju beriman akan hadirnya Pribadi Yang Lain di luar kemampuannya. Orang Ende Lio percaya akan Allah yang trasenden sekaligus yang imanen (jauh sekaligus dekat) adalah suci. Tuhan diyakini ada di balik bulan dan di bawah bumi, Du”a Lulu Wula - Ngga”E wena tana bahasa Lio. Orang Ende menyebutnya Dewa rheta –Ngga”E Rharhe artinya penguasa di langit yang nan tinggi. Hal yang sama pernah diteliti sangat mendalam oleh misionaris barat dikenal penelitian etnologis Pater Paul Arndt tahun 1944, dengan judul: Du”a Ngga”E. Das Hochste Wesen Im Lio- Gebiet (Mittel-Flores), Annali Lateranensi (1939); Der Kult Der Lionesen Mittel Flores Annali Litteranensi 1944). Hingga kini tulisan itu tersimpan di Antropos Institute, Sankt Agustin, Jerman).( Seri Etnologi Candraditya, 2002:No. 2)

Wujud Tertinggi dalam kebudayaan tertinggi digambarkan sebagai yang tinggal di langit nun jauh Du”a Lulu Wula/ Dewa rheta dan di tanah-bumi yang dekat Ngga”E wena tana/ Ngga”E Rharhe. Bahwa Wujud Tertinggi memiliki kesucian karena kedua tempat itu merupakan tempat tinggal dan tempat berpijaknya Sang Maha Suci. Kepercayaan masyarakat Ende Lio lebih bersifat mono-dualistis, di mana terkesan seakan Wujud Tertinggi (esa) tapi berdiam dua tempat yakni di Sorga dan di bumi. Suasana Surga (seakan tempat) khusus hanya Wujud Tertinggi/Sang Maha Suci saja dan di bumi dalam arti lebih pada pandangan di bawah telapak kaki Wujud Tertinggi, tempat manusia. Karena itu, sewajarnyalah manusia bernaung di bawah kaki Wujud Teringgi (Ngga”E wena tana/ Ngga”E Rharhe tana). “Du”a” dalam pemahaman (Maskulin) secara fisik batasannya mulai bagian kepala hingga pergelangan kaki (harus di Sorga) alasan mulia, besar, berkuasa dan dituakan (ata du”a/orang tua, du”a nua/tua adat, du”a ria/ seorang bapak atau seorang nenek, du”a nuwa/dibesarkan hingga tua, Du”a Ngga”E = Maha Suci). Sedangkan “Ngga”E” dalam pengertian (Feminim) lebih pada kiasan peran ibu (fai ngga”e, ine ngga”e) dimengerti sebagai penggendong, penampung, duduk dekat telapak kaki, langkah, jejak, tanda kepemilikan hanya berada di bawah tapi punya kedudukan saling melengkapi (komplementari). Walaupun nama, untuk sementara sekadar penulis sebut saja sebuah “term”, “Du”a “ dan “Ngg”E” yang lama kelamaan memiliki kesejajaran arti yakni sama-sama dimengerti sebagai Wujud Tertinggi).  (Tara, T. K., 2021)

Kedua nama sebenarnya memiliki arti yang berbeda tapi dipadukan menjadi satu, seakan-akan sama yakni Tuhan atau Allah orang Ende Lio. Jelas, bagi orang Ende Lio memahami ada dua alam yang memiliki karakter berbeda dijadikan satu (esa) dengan penmahaman lain konsep “bi-polar”. Lebih jauh konteks tersebut sepadan dengan sila pertama Pancasila yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemahaman “Esa” konteks kebudayaan Ende Lio bukan berarti satu melainkan perpaduan dua atau lebih dan sangat menyata pada langit dan bumi.

Sebagai perbandingannnya bahwa budaya yang berkenaan dengan aktivitas religi sangat melekat dalam aktivitas budaya bangsa Indonesia seperti yang dijelaskan dalam Sundawa, D., & Wadu, L. B. (2021) tentang nilai religius dalam upacara bersih desa di Kota Batu, Jawa Timur. Nilai-nilai   religiu dar tradis bersi des ini   didapatka dalam    tujuan   dari penyelenggaraan  bersih desa  yang menurut  narasumber  terdapat beberapa  wujud  antara  lain: pertama, sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas karunia yang telah diberikannya kepada warga desa pada umumnya. Nilai religius kedua dari tradisi bersih desa yaitu sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada leluhur desa yang telah “babad alas” atau bedah krawang di desa tersebut, sehingga mereka semua saat ini bisa menempati dan berkehidupan di desa tersebut, oleh karena itu mereka (warga desa) perlu mendoakan para leluhur tersebut agar di alamnya saat ini (di akherat) memperoleh suatu bentuk kehidupan “sesudah-hidup” yang setimpal atas jasanya di dunia. Nilai religius ketiga, sebagai perwujudan kepercayaan atas adanya kekuatan alam yang tidak kasatmata yang melindungi desa tersebut seisinya yang diyakini dan disimbolkan sebagai pundhen, untuk itu warga desa perlu suguh sesaji dan kirim donga yang diujubkan di pundhen tersebut. Nilai religius keempat, sebagai bentuk keinginan dan harapan untuk menolak segala bala’ atau sengkolo seperti penyakit, marabahaya, prahara, tragedi. Nilai religius kelima, sebagai bentuk upaya nguri-uri budaya warisan nenek moyang yang penuh nilai kearifan lokal. Nilai religius keenam sebagai bentuk ungkapan rasa sukacita dan kegembiraan warga masyarakat atas segala yang telah diperolehnya dalam satu tahun yang telah berjalan (hasil pertanian,perdagangan, keterampilan). Pesan moral tersebut tersirat dalam uborampe sesaji dan kelengkapan acara yang sebenarnya merupakan simbolisasi dari pepeling (pengingat) Sundawa, D., & Wadu, L. B. (2021). Dengan demikian elemen dasar yang dimiliki dan melekat dalam hubungannya dengan wujud tertinggi dimanifestasikan dalam adat tradisi yang melekat untuk menjaga toleransi hubungan yang erat antara pencipta dan manusia secara vertikal sebagai bentuk penghormatan yang hakiki dan imanen.

 

b.      Hubungan manusia dengan sesamanya.

Bagi masyarakat Ende-Lio, kematian selalu dipandang dalam konteks kesucian karena setelah manusia mati atau meninggal, jiwa mereka akan bersatu dengan arwah nenek moyang dan bergabung bersama alam raya. Sungguh suatu keterlibatan teologis dalam pandangan berbudaya masyarakat. Karena itu masyarakatnya sungguh menghormati orang yang sudah meninggal yang akan bergabung dengan alam gaib. Karena itu penting inter-hubungan toleransi antara orang yang masih hidup dengan yang telah meninggal di alam gaib harus benar-benar baik. Dampak penghormatan bisa lahir melalui tindakan di mana suasana kematian tidak sekedar duka dan sedih melainkan momen membina persatuan dan persaudaraan. Setiap keluarga akan menyumbang sesuai status dan perannya dalam keluarga. Mati bukan mati melainkan menuju ke kehidupan baru.

Masyarakat Ende Lio tidak menyebut tempat persinggahan manusia terakhir di Sorga konteks langit (abstrak) melainkan di bumi (realistis). Bumi dan seisinya dianggap suci (bhisa) dan ada unsur pemali atau angker (pire). Karena itu tidak boleh merusaki bumi dan pemali merusaki sesama manusia dengan kejahatan yang disengajakan. Hal ini, ada pengakuan adat yang sudah membudaya. Kesucian di langit/angkasa (abstrak).  Kesucian di bumi/tanah (riil) seperti; percaya tiga tempat penampungan orang yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu setiap orang diharapkan tidak boleh jahat terhadap sesama, jika berbuat jahat akan bergabung di danau merah suanggi (tiwu ata polo). Dengan demikian Masyarakat Ende Lio telah membudaya “percaya”, bahwa kematian merupakan proses pemurnian jiwa yang sesungguhnya Sesungguhnya pandangan bahwa kematian merupakan peristiwa omong kosong saja belaka.

Dari konsep adat budaya, masyarakat Ende Lio sudah membudaya, bahwa setelah manusia meninggal secara hukum alam, orang itu akan tetap hidup dalam rupa baru dan siap bergabung dengan alam raya dan sesamanya yang telah meninggal. Mati dilihat hanya merubah rupa kehidupan saja. Sepatutnya orang yang meninggal itu kembali ke rahim ibunya (bhale tuka ine ghi) yang tetap hidup dan selalu ada sekitar kita dan sekitar alam ini. Atas dasar pandangan seperti itu, mayat orang mati boleh dikuburkan di pelataran adat dan di sekitar halaman rumah mereka. Filosofi itulah sehingga mereka tidak melihat tubuh mayat sebagai pocong atau orang mati itu dianggap roh yang mengganggu mereka. Lebih jauh secara budaya mereka melihat, bahwa manusia sesungguhnya dengan badan dan Rohnya akan pergi ke tiga tempat yakni: pergi ke danau Kelimutu tiga warna khusus Orang Lio tengah dan Lio selatan, pergi ke Kajumata seturut kepercayaan Lio utara dan pergi ke gunung Ia/Ya bagi orang Ende. Bagi mereka yang percaya setelah mati pergi ke danau Kelimutu diyakini, bahwa bila seseorang selama hidupnya didominasi perilaku jahat, kepada oknum itu diidentik sebagai manusia suanggi/setan, dengan sendirinya secara budaya diyakini orang itu akan masuk ke danau suanggi (tiwu atapolo). Selama hidup di dunia, orang tersebut selalu bersikap: anti (ate re”e), dendam=ate sunu, cemburu= ate lo”o, sakit hati (ate ro), perasaan kebal atau tidak solider dengan sesama=ate ria). Konteks suanggi secara budaya selalu berpadanan dengan pencuri (polo dapi naka). Karena itu secara budaya diawasi agar manusia tidak boleh curi dan tidak boleh berlaku jahat kepada sesama.Selain itu, bagi orang yang meninggal pada usia muda, tapi selama hidupnya selalu berperilaku baik, ramah, suci, dipercayai bahwa orang itu akan masuk ke danau berwarna biru (tiwu ko”o fai nuwamuri). Selanjutnya ada pandangan tentang orang tua dan nenek-nenek yang meninggal usia lanjut dan hidupnya diselingi antara baik dan buruk diyakini akan masuk danau nenek-tua (atabupu/atambupu) atau konsep agama Kristen dikenal dengan purgatorium. Selanjutnya sedikit berbeda pula versi kematian orang Ende. Bagi masyarakat Ende percaya, bahwa setelah orang meninggal mereka akan ke gunung “Ya/Ia” tapi masih ada kaitannya dengan Kelimutu. Di sana orang tidak lagi makan atau minum, kawin-mawin. Tubuh mayat itu tidur terus sambil menunggu penghakiman terakhir dari Konde-laki (Raja penghakiman). Bahasa adatnya “urhu du mutu, a”i s”eda Ya/Ia” artinya setelah meninggal kepala orang yang sudah mati itu bersandar (du) dekat danau Kelimutu dan kakinya bersandar (s”eda) pada puncak gunung Ya/Ia. Kepercayaan masyarakat yang sudah membudaya seperti ini mau menunjukkan bahwa tempat pengistirahatan abadi bagi manusia tidak perlu cari jauh-jauh melainkan di bumi saja (Tara, T. K. 2021).

Salah satu segi rohaniah yang menonjol dalam masyarakat Ende-Lio, yakni sikap terhadap alam kehidupan sesudah mati, kepercayaan terhadap roh seseorang tidak lenyap pada saat sesusudah ia meninggal, melainkan dapat mempengaruhi kehidupan seseorang yang masih hidup, roh diyakini mempunyai kehidupan di alamnya sendiri ketika ia meninggal dan turut andil dalam menlindungi manusia dan alam dari tempatnya. Salah satu tradisi pendirian bangunan-bangunan yang ditemui di wilayah ini, selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejateraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Jasa dari seorang sahabat yang telah mati, diabadikan dengan mendirikan bangunan batu besar. Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah sekaligus menjadi lambang dari orang yang telah meninggal.

Kepercayaan tentang kematian dan ke mana manusia pergi setelah kematian mempengaruhi hubungan masyarakat Ende terhadap sesamanya. Orang Ende Lio berlomba- lomba berbuat baik agar tidak dicap suanggi dan pencuri (polo-naka) dan saat meninggal bisa memetik buah segar serta tidur nyenyak tak perlu berpikir lagi. Kehidupan manusia yang toleransi dengan sesamanya akan mempengaruhi kehidupannya setelah kematian. Manusia harus mempunyai hati yang suci (tulus jujur) dalam pergaulannya dengan sesama. Hati suci dalam bahasa daerah Ende Lio dengan terminologi ate reda (tulus), ate masa (bersih/suci), ate sare (baik konteks cantik), ate pawe (baik konteks murah hati) dan ate monge (konteks lurus, benar/jujur)”.165 Selain itu ada hal yang menyentuh keinginan dan kehendak suci, baik dan benar (orha-nara eo pawe, ola-nara eo bheni), dan sebagainya. (Tara, T. K. 2021).

Dalam hubungannya dengan sesama, orang Ende Lio juga mengenal tradisi “pire” atau pemali terutama hubungannya dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. “Pire” adalah norma yang sangat diikuti dan bahkan ditakuti sehingga jika dilanggar oleh manusia akan menimbulkan sanksi. “Pire” mengatur hubungan antarsesama manusia agar saling menghargai dan menghormati, misalnya: antara mama mantu dengan anak mantunya, Bapak mantu dengan anak mantunya, yang lazim dikenal dengan ungkapan dalam bahasa daerah disebut (tu”a Ngga”e). Penghormatan antarmanusia merupakan bagian dari etika sosial manusia itu sendiri. Kesemua praktik hidup ini menyentuh kemanusiaan ditinjau dari aspek antropologis.

 

c.       Hubungan manusia dengan alam.

Alam adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kenyataan yyang demikian merupakan esensi penting yang diakui sebagai tungku kehidupan terakhir yaitu hubungan manusia dengan alam tidak terlepas dari kedua tungku kehidupan sebelumnya. Hubungan manusia dengan alam harus dilihat dalam kerangka penghormatan manusia terhadap Wujud Tertinggi dan sesamanya. Alam Semesta bagi orang Ende Lio adalah suci dan karena tidak boleh dirusak. Alam  itu suci karena mempunyai kaitannya dengan Wujud Tertinggi yang suci.  Kesucian alam biasanya dihubungkan dengan mitologi Suci khususnya berkaitan dengan mitologi binatang suci (totemisme) yang bisa ditemukan dalam berbagai agama dan kepercayaan. Ada komunitas yang percaya binatang suci: domba, sapi, gajah, babi, kucing. Pada unggas: merpati, angsa putih, gagak, Srigunting dan sebagainya seperti Jemaat Hindu dan Budha di India menganggap sapi binatang suci selain gajah putih.

Bagi orang Ende Lio, penghormatan terhadap alam, bumi dan segala isinya adalah keutamaan perilaku manusia karena alam adalah tempat bagi manusia saat ia masih hidup dan setelah ia meninggal. Tindakan menghancurkan alam adalah tindakan melawan Wujud Tertinggi dan menghancurkan manusia itu sendiri dengan demikian konsekwensi berupa karma diterima sebagai timbal balik yang sudah dipahami secara kultural.

3.  Penutup

Manusia memiliki adat istiadat yang menunjukkan mereka berbudaya. Hal yang menyentuh adat istiadat pada umumnya lebih mengarah pada nilai-nilai kebajikan. Kebiasaan (person) bisa hilang tapi adat istiadat (komunitas) sulit dihilangkan karena melekat pada nurani masyarakatnya. Sikap toleransi apat terbentuk karena pemaknaan akan nilai-nilai kehidupan yang baik dan benar. Nilai-nilai dalam tata adat budaya Ende Lio sungguh dipelajari (sebagai ilmu pengetahuan praktis), dialami (pengalaman disposisi batin) dan didalami (direnungkan, dikaji, dianalisis dan disimpulkan) oleh Soekarno sebagai sebuah ideologi. Keyakinan akan hidup berdampingan dalam masyarakat Ende Lio, bukan hanya dilakukan anatar sesama manusia saja, namun juga menjalin toleransi dengan Allah, dan adalam di sekitarnya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian hidup. Tradisi Masyarakat setempat telah menetapkan bahwa, Allah, Alam dan Arwah adalah satu kesatuan yang hidup, dan senantiasa menjaga serta memelihara hubungan yang elementer ini adalah bagian yang sangat penting dan bermanfaat untuk kelanjutan hidup manusia. Hidup toleransi merupakan ungkapan kenyamanan batin karena mampu memaknai pengamalan diri bahwa di luar diri ada diri yang lain. Pribadi yang harmoni dalam hidupnya merupakan pribadi yang memiliki tiga tungku kehidupan artinya memiliki Ketuhanan, Kemanusiaan dan cinta tanah air dalam konteks tindakan yang baik dan benar. Pribadi yang Pancasilais adalah pribadi yang sehat lahir dan batin ketika berhadapan dengan diri, sesama, alam raya dan Maha Pencipta. Soekarno telah menemukannya pada kebudayaan Ende Lio dan mencetusnya dalam Pancasila.

Pengalaman menghadapi fenomena alam semisal hujan, angin, panas tinggi yang tidak menentu, atau bala macam penyakit yang melanda seakan diluar akal sehat manusia, semuanya dilihat dalam perspektif adat, bahwa kesemuanya itu bukan gejala alamiah biasa melainkan bentuk intervensi Wujud Tertinggi agar manusia sadar akan kebersamaan. Alam raya sangat sensitif bila perilaku manusianya sudah menyimpang dari norma ada. Karena itu, penting pula diadakan ritual rujukan berupa upacara pemulihan (tola bala) dengan alam raya yang adalah bagian dari ciptaan Wujud Tertinggi. Upacara pemulihan (tolak bala) merupakan salah satu bentuk permohonan kepada Wujud Tertinggi konteks menutup rasa malu manusia, dan atau sebuah ungkapan kefanaan manusia sedikit canggung di hadapan Wujud Tertingginya agar terpaksa menyetujui penyucian diri. Tujuannya yaitu menormalisasikan kembali situasi damai di bumi  dan nyaman seperti sedia kala.

Masyarakat Ende dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilkinya merupakan masyarakat yang multi etnis selanjutnya disebut sebagai orang Lio-Ende yang sangat toleransi dan menghargai perbedaan. Ende menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, pendidikan, dan aktivitas politik. Dengan demikian menimbulkan hubungan sosial yang berkenaan dengan itu pula terjadi pencampuran unsur-unsur lainnya termasuk agama dan budaya yang kemudian termanifestasi dalam aktivitas keseharian mereka yang sangat toleransi.

 

Daftar Kepustakaan

 

Bdk. Seri Etnologi Candraditya, 2002.; Du”a Ngga”E Wujud Tertinggi dan Upacara Keagamaan di Wilayah Lio (Flores Tengah) No. 2, Perct. Arnoldus Ende

Budi, Kleden Paulus. 2012. Teologi Terlibat, Politik Dan Budaya Dalam Terang Teologi. Maumere: Penerbit Ledalero.

Dewantara, J. A., Suhendar, I. F., Rosyid, R., & Atmaja, T. S. (2019). Pancasila as Ideology and Characteristics Civic Education in Indonesia. International Journal for Educational and Vocational Studies1(5), 400-405.

Kean, Yohanes Y. W. 2015. Bung Karno Di Ende. Ende: Nusa Indah.

Koentjaraningrat menyebutkan tiga aspek ini sebagai: sistem ide-ide, sistem tingkahlaku, perwujudan benda-benda, sebagaimana dikutip oleh Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayan (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 167.

Kristoforus Kopong (Artikel) pengembangan materi seminar di Aula Tarsisius Gereja Paroki Persiapan St. Marinus Pu’urere, 30 September 2018 dalam Rangka Memasyarakatkan Pancasila: Pilar Kehidupan Berbangsa dan Beragama.

Kristoforus Kopong, 2015. Membumikan Pancasila, Mengurai Benang Kusut NKRI, Yogyakarta: WR

Muhammad Yamin, 1959. Naskah Persiapan UUD 1945, (Jakarta : PT. Yayasan Prapantja.

Mustafa Kamal Pasha, dkk.2003, Pancasila Dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri

P.J.Suswarno, 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius

Harian Umum Kompas, 4 Maret 2008.

Paulus Budi Kleden, SVD.2012, “Teologi Terlibat, Politik dan Budaya dalam Terang Teologi”., Penerbit Ledalero, dicetak oleh Percetakan Solusi Offset Yogyakarta

Risladiba, R., & Sundawa, D. (2018, November). Implementation of Pancasila Values in Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Community to Make Good and Smart Citizens. In Annual Civic Education Conference (ACEC 2018)(Atlantis Press, 2018) (p. 406).

RISLADIBA, R., & SUNDAWA, D. (2019). Supporting And Investigation Factors of Dayak Community Hindu Budha Earth as In Implementing Values of Pancasila. Journal of National Awareness Civil Society4(1).

 Roger M. Keesing. 1980. Antropologi Budaya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Samingan, S., & Roe, Y. T. (2021). Menelusuri Jejak Sejarah Ende Sebagai Kota Pancasila. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah9(2), 117-130

Sundawa, D., & Wadu, L. B. (2021). Implementasi Nilai Karakter Religius dalam Tradisi Bersih Desa. Jurnal Moral Kemasyarakatan6(2), 77-82.

Soeprapto. (2005). Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Masyarakat, Berbangsa, dan Bernegara. Jurnal Ketahanan Nasional, 10(2), Agustus 2005, hlm. 17-28.

Tara, T. K. (2021). HARMONISASI KEHIDUPAN PERSPEKTIF MASYARAKAT ENDE LIO (Dalam Bingkai Kisah Soekarno Menemukan Pancasila Untuk Indonesia). Atma Reksa: Jurnal Pastoral dan Kateketik4(2), 69-78.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer